TUGAS PENDIDIKAN AGAMA
Pernikahan Beda Agama
DI SUSUN OLEH:
TATANG SHOLAHUDIN
UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
FAKULTAS HUKUM
2012
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan yang Maha Kuasa atas berkat dan
rahmat-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang diberikan
oleh dosen pengajar yang terhormat yaitu Bapak Dr. H. Mardani, M.Ag yang
berjudul “PERNIKAHAN BEDA AGAMA”.
Dalam
isi makalah ini membahas tentang pernikahan beda agama dari segi agama maupun
dari segi Hukum Negara,yang akhir-akhir ini banyak dilakukakan oleh masyarakat
banyak. Pada dasarnya pernikahan adalah
sunnah Rasul, dimana semua orang diharapkan untuk melakukan perkawinan dan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan segala keterbatasan penulis,
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat kekurangan, kesalahan, maka
penulis mengharapkan kritik dan sarannya agar di makalah yang akan datang dapat
jauh lebih baik.
Demikian makalah ini ditulis, dengan
harapan dapat mengantarkan sekaligus menambah pemahaman dan pengetahuan yang
lebih luas.
Penyusun
Tatang Sholahudin
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Pernikahan merupakan peristiwa yang sangat penting dalam
masyarakat. Dengan hidup bersama, kemudian melahirkan keturunan yang merupakan
sendi utama bagi pembentukan negara
dan bangsa. Mengingat pentingnya peranan hidup bersama, pengaturan mengenai
perkawinan memang harus dilakukan oleh negara. Di sini, negara berperan untuk
melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan wanita.
Masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis / suku bangsa
dan agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia
dihadapkan kepada perbedaan – perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari
kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Yang menjadi
perhatian dari pemerintah dan komponen bangsa lainnya adalah masalah hubungan
antar umat beragama. Salah satu persoalan dalam hubungan antar umat beragama
ini adalah masalah Pernikahan Muslim dengan non-Muslim yang selanjutnya kita
sebut sebagai “pernikahan beda agama’
Masalah ini menimbulkan perbedaan
pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing pihak memiliki argumen
rasional maupun argumen logikal yang berasal dari penafsiran mereka
masing-masing terhadap dalil-dalil tentang pernikahan beda agama, karena
masalah pernikahan adalah masalah yang sangat rumit dan sangat fital khususnya
bagi masyarakat muslim.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian pernikahan dan tujuan pernikahan ?
2.
Tinjauan hukum islam tentang pernikahan beda agama?
3.
Tinjauan hukum negara tentang pernikahan beda agama?
4.
Pendapat pernikahan beda agama?
5.
Mengapa pernikahan beda agama itu dilarang di
Indonesia?
6.
Contoh kasus pernikahan beda agama di Indonesia?
7.
Bagaimana cara menyikapi pernikahan beda agama ?
Pengertian
Pernikahan
Pernikahan
adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa
Arab
yaitu kata nikkah yang berarti
perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu
berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah yang berarti persetubuhan.
Pernikahan merupakan ikatan diantara dua insan yang mempunyai banyak perbedaan,
baik dari segi fisik, asuhan keluarga, pergaulan, cara berfikir (mental),
pendidikan dan lain hal. Dalam pandangan Islam, pernikahan merupakan ikatan
yang amat suci dimana dua insan yang berlainan jenis dapat hidup bersama dengan
direstui agama, kerabat, dan masyarakat.
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Aqad nikah dalam Islam berlangsung sangat sederhana, terdiri dari dua kalimat "ijab dan qabul". Tapi dengan dua kalimat ini telah dapat menaikkan hubungan dua makhluk Allah dari bumi yang rendah ke langit yang tinggi. Dengan dua kalimat ini berubahlah kekotoran menjadi kesucian, maksiat menjadi ibadah, maupun dosa menjadi amal sholeh. Aqad nikah bukan hanya perjanjian antara dua insan. Aqad nikah juga merupakan perjanjian antara makhluk Allah dengan Al-Khaliq. Ketika dua tangan diulurkan (antara wali nikah dengan mempelai pria), untuk mengucapkan kalimat baik itu, diatasnya ada tangan Allah SWT, "Yadullahi fawqa aydihim".
Tujuan Pernikahan
1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini, dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.
2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat.
Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.”[1]
3. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami
Dalam Al-Qur-an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya thalaq (perceraian), jika suami isteri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah,
Tinjauan Hukum Islam tentang Pernikahan
Beda Agama
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga akan terwujud secara sempurna
jika suami-istri berpegang pada ajaran yang sama. Keduanya beragama dan teguh
melaksanakan ajaran Islam. Jika keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan
di lingkungan keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan
makanan, pembinaan tradisi keagamaan dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-Muslim, baik
musyrik maupun Ahlul Kitab. Dan pria Muslim secara pasti
dilarang nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan
tersebut mutlak diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman sahabat sampai abad modern ini adalah
perkawinan antara pria Muslim dengan wanita Kitabiyah. Menurut
pandangan ulama pada umumnya, pernikahan pria Muslim dengan Kitabiyah dibolehkan.
Sebagian ulama mengharamkan atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan banyak
sekali ulama yang melarangnya karena fitnah atau mafsadah dari
bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.
Mengenai masalah ini, Islam membedakan
hukumnya sebagai berikut :
1. Perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
2. Perkawinan antara seorang pria Muslim
dengan wanita Ahlul Kitab.
3. Perkawinan antara seorang wanita Muslimah
dengan pria non Muslim.
Islam melarang perkawinan antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik.
Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221
“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang beriman lebih
baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”.
Namun dikalangan ulama timbul beberapa pendapat tentang siapa musyrikah (wanita musyrik) yang haram dikawini itu?. Menurut Ibnu Jarir Al-Thabari, seorang ahli tafsir, bahwa musyrikah yang dilarang untuk dikawini itu ialah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya Al-Quran memang tidak mengenal kitab suci dan menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini seorang Muslim boleh kawin dengan wanita musyrik dari bangsa non-Arab, seperti Cina, India dan Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga sependapat dengan ini.
Tetapi kebanyakan ulama berpendapat, bahwa semua musyrikah, baik itu dari bangsa Arab ataupun bangsa non-Arab, selain Ahlul Kitab, yakni (Yahudi dan Nashrani) tidak boleh dikawini. Menurut pendapat ini bahwa wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi/Nashrani tidak boleh dikawini oleh pria Muslim, apapun agama ataupun kepercayaannya, seperti Budha, Hindu, Konghucu, Majusi/Zoroaster, karena pemeluk agama selain Islam, Kristen dan Yahudi itu termasuk kategori “musyrikah”.
Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam (pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang kafir selain Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci, malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu mengajak orang-orang yang telah beragama untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.
Berdasarkan KHI pasal 40 ayat (c):
“Dilarang perkawinan antara seorang wanita beragama Islam dengan seorang pria
tidak beragama Islam”.
Pada prinspnya agama Islam melarang (haram) perkawinan antara seorang
beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam (perhatikan Al-Quran
surat Al-Baqarah ayat 221), sedangkan izin kawin seorang pria Muslim dengan
seorang wanita dari Ahlul Kitab (Nashrani/Yahudi) berdasarkan Al-Quran surat
Al-Maidah ayat 5 itu hanyalah dispensasi bersyarat, yakni kualitas iman dan
Islam pria Muslim tersebut haruslah cukup baik, karena perkawinan tersebut
mengandung resiko yang tinggi (pindah agama atau cerai). Karena itu pemerintah
berhak membuat peraturan yang melarang perkawinan antara seorang yang beragama
Islam (pria/wanita) dengan seorang yang tidak beragama Islam (pria/wanita)
apapun agamanya, sedangkan umat Islam Indonesia berkewajiban mentaati larangan
pemerintah itu sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pasal 50 ayat (c) dan pasal 44.
Selanjutnya Yusuf Qardlawi mengingatkan banyaknya madharat yang mungkin
terjadi karena perkawinan dengan wanita non Muslim :
1. Akan banyak terjadi perkawinan dengan wanita-wanita non Muslim. Hal ini akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki Muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan pria Muslim yang belum kawin.
2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama
istrinya, demikian pula anak-anaknya. Bila terjadi, maka “fitnah” benar-benar
menjadi kenyataan.
3. Perkawinan dengan non Muslimah akan
menimbulkan kesulitan hubungan suami-istri dan pendidikan anak-anak.
Lebih-lebih jika pria Muslim dan kitabiyah beda tanah air, bahasa, kebudayaan
dan tradisi, misalnya Muslim timur kawin dengan kitabiyah Eropa atau Amerika.
Tinjauan Hukum
Negara tentang Pernikahan Beda Agama
Perkawinan
di Indonesia diatur oleh UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Berdasarkan UU
tersebut perkawinan di definisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh karenanya dalam UU yang sama diatur bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu serta telah
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapat tentang Perkawinan Beda Agama:
· Seorang guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr.
Muhammad Daud Ali (alm.) menjelaskan dalam bukunya yang bejudul “Perkawinan
Antar Pemeluk Agama Yang Berbeda“.Perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama adalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut
hukum agama dan Undang-undang Perkawinan yang berlaku di tanah air kita. Untuk
penyimpangan ini, kendatipun merupakan kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu
dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh negara. Memberi
perlindungan hukum pada warga negara yang melakukan perbuatan yang bertentangan
dengan Pancasila sebagai cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara serta
hukum agama yang berlaku di Indonesia, pada pendapat saya selain tidak
konstitusional, juga tidak legal.
· Prof. HM Rasjidi, menteri agama pertama RI, dalam artikelnya di Harian
Abadi edisi 20 Agustus 1973, menyorot secara tajam RUU Perkawinan yang dalam
pasal 10 ayat (2) disebutkan: “Perbedaan karena kebangsaan, suku, bangsa,
negara asal, tempat asal, agama,
kepercayaan dan keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Pasal dalam
RUU tersebut jelas ingin mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pasal
16 yang menyatakan: “Lelaki dan wanita yang sudah dewasa, tanpa sesuatu
pembatasan karena suku, kebangsaan dan agama, mempunyai hak untuk kawin dan
membentuk satu keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dengan hubungan dengan
perkawinan, selama dalam perkawinan dan dalam soal perceraian.”
khusus
tentang pasal 16 tersebut, Hamka menulis kesimpulan yang sangat tajam: “Oleh
sebab itu dianggap kafir, fasiq, dan zalim, orang-orang Islam yang meninggalkan
hukum syariat Islam yang jelas nyata itu. lalu pindah bergantung kepada
“Hak-hak Asasi Manusia” yang disahkan di Muktamar San Francisco, oleh sebagian
anggota yang membuat “Hak-hak Asasi” sendiri karena jaminan itu tidak ada dalam
agama yang mereka peluk.
Pernikahan Beda Agama yang ada pada saat ini:
Meskipun
sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan. Berbagai cara
ditempuh, demi mendapatkan pengakuan dari Negara. ada beberapa cara yang
populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat dilangsungkan.
- Pagi menikah sesuai agama laki-laki, siangnya menikah sesuai dengan agama perempuan.
- Salah satu dari calon pengantin baik laki-laki ataupun perempuannya mengalah mengikuti agama pasangannya lalu setelah menikah dia kembali kepada agamanya.
- Menikah diluar negri
Untuk perkawinan beda agama yang ada pada saat ini, mantan Menteri Agama
Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama masing-masing. Yang
jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri, pertama harus didasari
atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada kasus pernikahan beda
agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk masing-masing suami dan istri
agar tetap menghormati agama pasangannya. “
Pelarangan Pernikahan Beda Agama di Indonesia
Pernikahan berbeda agama dilarang di
Indonesia karena Pemerintah RI menginjak-injak HAM (Hak Azasi Manusia).
Kita
semua tahu bahwa RI telah meratifikasi Deklarasi HAM Universal. Dan isi dari
pasal 16, ayat 1, Deklarasi HAM Universal adalah sbb:
“Laki-laki dan Perempuan yang sudah
dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk
menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal
perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.”
Karena
pernikahan berbeda agama tidak mau dilakukan oleh pencatatan sipil di
Indonesia, maka artinya sudah jelas bahwa Pemerintah RI melecehkan HAM. HAM
dari mereka yg berbeda agama dan ingin menikah telah diinjak-injak oleh negara,
dan situasi seperti itu masih berlangsung sampai sekarang.
Cara dalam Menyikapi Perkawinan Beda Agama
Pertama:
Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti
penyelundupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati
secara hukum ketentuan dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun
setelah perkawinan berlangsung masing-masing pihak kembali memeluk agamanya
masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.
Kedua:
Berdasarkan Putusan MA No 1400 K/Pdt/1986 Kantor Catatan Sipil diperkenankan
untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan
yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Petrus
Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
Dalam putusannya MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan
pernikahan di KCS maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam
tentang Perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar
perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, mereka
berstatus tidak beragama Islam, maka KCS harus melangsungkan perkawinan
tersebut.
Contoh Kasus
Perkawinan beda agama pun nyata –nyatanya terjadi di
Indonesia,lantas bagaimanapenyelesainya
hingga tidak ada upaya hukum para pencari keadilan itu tidak kandas ditengah
jalan,sebagai contoh adalah pada tahun 1986 Lydia Kandou menikah dengan
aktor Jamal Mirdad. Peristiwaini menjadi begitu kontroversial, karena perbedaan
agama. Lydia Kandou yang beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam.Namun pasangan Jamal Mirdad dan Lydia Kandou nekad menikah
di Indonesia dan memperjuangkan status
mereka mati-matian di Pengadilan
Negeri.Peristiwa
yang terjadi tahun 1986 tersebut begitu menggemparkan. Tentangan dan kecaman
dariagamawan dan masyarakat menghantam secara
bertubi-tubi pasangan ini.Lalu setelah mereka berkeluarga dengan payung hukum
apa mereka melakukan pekawinan ? Bagaimana pula upaya hukum mereka hingga
pernikahan mereka disahkan ? Upaya awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia
Kandou ialah mengajukan permohonan keKantor
Urusan Agama namun upaya itu ditolak oleh KUA, sehingga Kantor Catatan Sipil
ditujusebagai jalan tengah tak pula bisa dilalui mereka dengan
lancar,namun upaya Jamal Mirdad & LydiaKandou tidak berhenti sampai disitu
mereka menempuh jalur pengadilan,dari hal itu Hakim EndangSri Kawuryan mengizinkan mereka menikah Dengan
izin itu, pada 30 Juni 1986, Jamal dan Lydiaresmi menikah
Contoh kasus, perkawinan pesulap Dedy Curbozer (Kristen) dan
istrinya Calina (Islam). Dedy meminta penjelasan kepada Universitas Paramadina
tentang hukum pernikahan beda agama dalam agama Islam. Universitas Paramadina
memberikan penjelasan bahwa menurut hukum Islam perkawinan beda agama boleh
untuk dilakukan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka keduanya melangsungkan
perkawinan dan menganggap perkawinannya sah karena telah dilakukan menurut
ketentuan masing-masing agamannya.
Saat ini banyak cara yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia untuk melakukan perkawinan beda agama terutama di kalangan selebritis
Indonesia misalnya
- Dilakukan di luar negeri yang hukumnya membolehkan perkwaninan agama sehingga hukum perkawinannya tunduk pada hukum asing bukan hukum Indonesia.
- Meminta penetapan kepada pengadilan untuk diizinkan melangsungkan perkawinan.
Bagaimana perkawinan beda agama ditinjau dari Hak Asasi
Manusia ? Dalam Konstitusi Negara kita disinggung masalah perkawinan dalam
Pasal 28 B yang menegaskan Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Ketentuan
ini juga dapat ditemukan dalam UU 39 Tahun 1999 tentang HAM dalam Pasal
10, “setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.”
Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak
bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan. Yang paling penting inti dari konstitusi dan
undang-undang diatas adalah bahwa perkawinan merupakan hak asasi manusia yang
diakui dan harus dihormati oleh Negara Indonesia juga telah meratifikasi ICCPR
( Kovenan Hak Sipil dan Politik ) Melalui UU No 12 Tahun 2005. Sehingga
ketentuan tersebut juga menjadi sumber hukum di Indonesia. Masalah perkawinan
juga diatur dalam Kovenan tersebut diantara Pasalnya (Pasal 23) mengenai
perkawinan adalah :
- Keluarga adalah kesatuan kelompok masyarakat yang alamiah serta mendasar dan berhak dilindungi oleh masyarakat dan Negara.
- Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.
- Tidak ada satu pun perkawinan yang dapat dilakukan tanpa persetujuan yang bebas dan penuh dari para pihak yang hendak menikah.
Kesimpulan
Dalam kaitan hukum
pernikahan antara kaum Muslimin dan Muslimat dengan orang-orang yang bukan
Islam, orang-orang bukan Islam dapat dibedakan atas dua golongan, yaitu
golongan kaum musyrikin dan golongan Ahlul Kitab. Kaum Muslimat diharamkan secara
mutlak kawin dengan pria non-Muslim, baik dari golongan musyrikin maupun dari
golongan ahlul kitab. Demikian pula kaum muslimin “haram secara mutlak” kawin
dengan wanita musyrik. karena pada dasarnya seorang anak akan kebingungan
untuk mengikuti ayahnya atau ibunya.Perkawinan baru akan
langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian
pandangan hidup antar suami dan istri.
Dan jadi pada dasarnya agama islam melarang secara
tegas terjadinya pernikahan berbeda agama.
DAFTAR
PUSTAKA
Ridha,Rasyid, Tafsir Al Manar, Vol. VI, Cairo, Darul
Manar, 1367 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar